Thursday 24 May 2012

FOSIL DAN SEKALA WAKTU GEOLOGI


A. FOSIL


Difinisi

Fosil adalah sisa atau jejak atau bekas hewan maupun tumbuhan yang hidup pada masa lampau yang telah membatu, tertimbun, dan terawetkan secara alamiah. Jadi fosil tidak selalu dalam bentuk sisa jasad, tetapi dapat pula dalam bentuk hanya berupa telapak kaki suatu hewan.

Berdasarkan difinisi ini, maka Mummy orang Mesir tidak dapat dikatakan sebagai fosil, demikian pula dengan peralatan-peralatan hidup manusia purba.
Apakah batubara dan minyak bumi disebut fosil ?
Fosil kebanyakan berada pada batukapur, batupasir, dan shale (batuan sediment). Kandungan-kandungan organisma dapat juga terjebak pada aspal alam, amber, dan es.

Batas antara masa lampau dan masa kini adalah pada awal Holocen yaitu sekitar 11.000 tahun yang lalu. Sedangkan jarak/rentang umur fosil dari 3,5 milyar tahun – jejak-jejak tua dari microscopic cyanobacteria (ganggang biru-merah) sampai 10.000 tahun sisa-sisa tua dari binatang-binatang yang terawetkan selama zaman es terakhir
Paleontologis (adalah ilmuwan yang mempelajari kehidupan prasejarah) menggunakan fosil-fosil untuk membaca bagaimana kehidupan telah berubah dan juga bagaimana sejarah bumi.


Syarat-Syarat Terbentuknya Fosil

Ada beberapa syarat untuk dapat terbentuknya fosil, yaitu :
1.        Jasad-jasad tersebut memiliki bagian badan yang dapat tahan lama, yaitu rangkanya mengandung mineral atau zat tanduk.
2.        Jasad tersebut telah mati dan tertimbun oleh batuan dalam waktu yang relatif singkat.
3.        Jasad terhindar dari perobahan-perobahan kimiawi dan fisik oleh batuan yang menutupinya




Penyelidikan Fosil

Paleontologi adalah bagian dari ilmu geologi yang menguraikan penyelidikan dan interpretasi fosil. Ahli Paleontologi menggunakan fosil terutama untuk :
1.    Menentukan umur relatif suatu batuan.
2.    Mengetahui keadaan lingkungan dan ekologi masa lampau.
Paleontologi banyak membantu ahli Geologi memahami sejarah masa lalu bumi melalui fosil.

Jenis Fosil
Berdasarkan tipe pengawetannya, fosil dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu :
1.    Fosil tidak berubah
        Semua bagian organisme terawetkan, bagian yang keras maupun bagian yang lunak, misalnya Mammoth yang terawetkan di dalam es di Siberia.

2.    Fosil yang mengalami perubahan
Perubahan dapat berupa :

a.    Permineralisasi
Bagian keras yang poreus yang asli terawetkan, tetapi beberapa unsur mineral sekunder mengisi ruang antar sel.Sebagian besar tulang-tulang Vertebrata dan cangkang-cangkang Invertebrata terawetkan dalam bentuk ini. Akibat penambahan mineral sekunder, fosil-fosil sering menjadi lebih berat dan lebih awet dari pada bagian keras yang asli yang tak terubah. Sebagian besar tulang-tulang Dinosaurus dan Mamalia dan “Petrifield Wood” (kayu yang membatu)adlah hasil permineralisasi

b.    Replacement (penggantian)
Mineral sekunder mengganti semua material fosil asli. Hasilnya adalah jiplakan fosil asli yang hampir sempurna. Contohnya kayu yang seluruhnya terganti oleh silika seperti yang terdapat di Wonosari –Yogyakarta.  
“Replacement occurs when an organism is buried in mud and its remains are replaced by sulfide (pyrite) or phosphate (apatite) minerals. This process may replace soft tissue, preserving rarely seen details of the organism’s anatomy. X-ray scanning of some German shales from the Devonian Period (410 million to 360 million years before present) have revealed limbs and antennae of trilobites (extinct ocean-dwelling arthropods) and tentacle arms of cephalopods (highly developed mollusks) that have been pyritised (replaced by pyrite). Paleontologists have used mild acids to etch the phosphatized fossil remains of ancient fish found in Brazil to reveal structures such as gills and muscles. Although mineral replacement is rare, fossils created in this way are important in helping paleontologists compare the anatomical details of prehistoric organisms with those of living organisms”.
c.    Rekristalisasi
Dalam proses ini setiap butiran yang sangat halus dari material asli dari bagian yang keras mengalami reorganisasi (penyusunan kembali) ke dalam kristal-kristal yang lebih besar dari material yang sama. Biasanya tidak ada material baru yang masuk maupun keluar, dan akibatnya tidak ada perubahan bentuk luar dari bagian yang keras. Walaupun demikian, beberpa sturktur dalam  dari bagian yang keras biasanya rusak. 
Beberapa kulit binatang tersusun dari mineral aragonit, terbentuk dari kalsium karbonat yang terurai lebih dari jutaan tahun dalam bentuk mineral kalsit yang lebih stabil. Metoda pengawetan ini disebut rekristalisasi
“Many animal shells are composed of the mineral aragonite, a form of calcium carbonate that breaks down over millions of years to form the more stable mineral calcite. This method of preservation, called recrystallization, destroys the microscopic details of the shell but does not change the overall shape. Snail shells and bivalve shells from the Jurassic Period (205 million to 138 million years before present) and later are still composed principally of aragonite. Most older shells that have been preserved have recrystallized to calcite”.
3.  Fosil fragmen
      Fosil berupa fragmen-fragmen, dan fragmen-fragmen tersebut dapat berubah maupun tidak berubah.

4.  Fosil jejak atau bekas
     Tidak semua jasad hidup menjadi fosil dalam bentuk yang sempurna utuh dan mudah dikenali, sering kali hanya berupa bukti-bukti tidak langsung, misalnya berupa jejak atau telapak binatang. Fosil-fosil berupa jejak atau bekas adalah

  1. Mold, Cast, dan Imprint
Bila bagian keras dari hewan semuanya terlarutkan, lobangnya tinggal dalam batuan sedimen yang melingkunginya. Cetakan demikian disebut Mold. Bila yang tercetak bagian luar maka disebut External Mold, sedangkan bila yang tercetak bagian dalam maka disebut Internal Mold.
Mold dapat terisi oleh material sekunder mem bentuk jiplakan yang secara kasar sama dengan bentuk aslinya. Fosil demikian disebut Cast. Bila yang tercetak bagian luar maka disebut External Cast, sedangkan bila yang tercetak bagian dalam maka disebut Internal Cast.
Imprint biasanya terbentuk bila organisme tercetak di dalam sedimen yang halus (misalnya pasir halus atau lumpur), dan akhirnya terlepas.


  1. Track, Trail, dan Burrow
Track dan Trail terbentuk karena perpindahan organisme diatas sedimen- sedimen lunak
Track adalah jejak berupa telapak, sedangkan Trail adalah jejak berupa seretan.
Burrow adalah jejak dari organisme penggali. Lobang-lobang galian yang ditinggalkan oleh organisme sering terawetkan oleh pengisian lobang dengan sedimen yang komposisinya berbeda.


  1. Coprolit
Coprolit adalah fosil berupa kotoran hewan. Koprolit oleh ahli Geologi digunakan untuk menentukan tempat hidup, makanan, dan ukuran relatif dari hewan tersebut.

d.    Fosil Kimia
Jejak asam organik seperti yang dijumpai dalam sedimen Pra-Kambrium dipandang sebagai Fosil Kimia.


Pada umumnya fosil terbentuk sebagai hasil kombinasi dari beberapa proses tersebut di atas. Fosil juga diklasifikasikan seperti klasifikasi organisme dalam Biologi. Tetapi, karena fosil hanya diwakili oleh bagian yang keras, maka klasifikasi fosil terutama didasrkan pada faktor-faktor morfologi bagian keras tadi. 


Carolina Biological Supply/Phototake NYC
Fossil-bearing Rocks
Microsoft ® Encarta ® Encyclopedia 2002. © 1993-2001 Microsoft Corporation. All rights reserved.


Processes of Fossilization
Many factors can influence how fossils are preserved. Remains of an organism may be replaced by minerals, dissolved by an acidic solution to leave only their impression, or simply reduced to a more stable form. The fossilization of an organism depends on the chemistry of the environment and on the biochemical makeup of the organism. As a result, not all organisms in a community will be preserved.
a. Carbonization
Plants are most commonly fossilized through carbonization. In this process, the mobile oils in the plant’s organic matter are leached out and the remaining matter is reduced to a carbon film. Plants have an inner structure of rigid organic walls that may be preserved in this manner, revealing the framework of the original cells. Animal soft tissue has a less rigid cellular structure and is rarely preserved through carbonization. Although paleontologists have found the carbonized skin of some ichthyosaurs, marine reptiles from the Mesozoic Era (240 to 65 million years before present), the microscopic structure of the skin was not preserved.
b. Patrifaction
Another common mode of preservation of plants is petrifaction, which is the crystallization of minerals inside cells. One of the best-known forms of petrifaction is silicification, a process in which silica-rich fluids enter the plant’s cells and crystallize, making the cells appear to have turned to stone (petrified). Famous examples of silicification may be found in the petrified forests of the western United States (see Petrified Forest National Park). Petrifaction may also occur in animals when minerals such as calcite, silica, or iron fill the pores and cavities of fossil shells or bones.
c. Soft-Tissue Preservation
The soft tissues of animals are preserved only under extremely unusual conditions, and the preserved tissue usually lasts for only a short period of geological time. In the Siberian permafrost (earth that remains frozen year-round), for example, entire mammoths have been preserved in ice for thousands of years. The remains of the mammoths’ last meals have sometimes been preserved in the stomachs, allowing paleontologists to study the animals’ diet.
Mummification may occur in hot, arid climates, which can dehydrate organisms before their soft tissue has decayed fully. The skin itself is preserved for only a short time, but the impressions of the skin in the surrounding sediment can be preserved much longer if the sediment turns to rock. Paleontologists have found skin impressions of dinosaurs preserved by this method.
d. Organic Traps
Whole organisms may become trapped and preserved in amber, natural asphalt, or peat (decaying organic matter). Amber is the fossilized remaining part of tree sap. When sap first flows from the tree, it is very thick and sticky, so as it runs down the trunk, it may trap insects, spiders, and occasionally larger animals such as lizards. These organisms can be preserved for millions of years with details of their soft tissue, such as muscles and hair-like bristles, still intact.
Natural asphalt (also called tar) is a residue from oil that has seeped to the earth’s surface from deposits in the rock below. When an asphalt pit is covered by water, thirsty animals that come to the pit to drink may become trapped in the sticky substance and be preserved. One well-known example of such an area is the La Brea Tar Pits of the Pleistocene Epoch (1.6 million to 10,000 years before present) in Los Angeles, California.
Animals may also be preserved in peat, although the acidic environment of this decaying organic matter may cause bones to lose their rigidity. Some human remains have been found in peat bogs in Denmark (2000 years old) and England (2200 years old).
e. Mold and Cast
Acidic conditions may slowly dissolve away the skeleton of fossil animals preserved in rock, leaving a space where the organism used to be. The impression that is left in the rock becomes a mold. This process commonly occurs in fossil shells where the calcite shell dissolves easily. The impression of the outside of the shell is the external mold. Sometimes the inside of the shell is filled with sediment before the shell is dissolved, leaving an internal impression of the shell called an internal mold. If the space where the shell used to be is then filled with a new mineral, the replica of the shell forms a cast.
f. Tracks and Trails
When animals walk through soft sediment such as mud, their feet, tails, and other body parts leave impressions that may harden and become preserved. When such an impression is filled with a different sediment, the impression forms a mold and the sediment that fills the mold forms a cast. Molds and casts of dinosaur tracks are relatively common and help paleontologists understand how these creatures moved.
g. False Fossils
Minerals can sometimes grow within rocks into shapes that resemble fossils. Dendrite crystals are often mistaken for fernlike fossils. Flint nodules in chalk can look like a variety of different life forms. Mineral concretions in sediments are sometimes mistaken for fossilized eggs. It is only with close study that the true nature of false fossils can be discovered.
Modern animals and plants sometimes become mummified or coated in travertine (calcium carbonate salts from springwater), or they may die while trapped in cracks in older rock strata. These remains are not true fossils, but trapped animals and plants may eventually fossilize with time.
Where Fossils Form
Fossils are found in all parts of the world, from Greenland to Antarctica. They can be found in cores drilled in and retrieved from the ocean floor, and on top of the highest mountains. Their wide geographical distribution is a result of the way the earth’s surface has changed throughout its history.
The earth’s crust is made up of several large tectonic plates that float on the earth’s liquid mantle (see Plate Tectonics). These tectonic plates have moved throughout geological time, forming large land areas and mountain ranges, and forming and closing off seas. Some land that is now in the polar regions was once closer to the equator, and many modern mountain ranges were once under water.
The global climate has also changed over geological time, alternating between periods of warmth and ice ages. These climatic conditions affected the distribution of life on the earth and are reflected in the fossil record. Fossils are abundant in rocks that were formed in tropical and equatorial regions for the same reason that life is most abundant at these latitudes today—a warm, tropical climate supports a wider variety of life forms than does a cold climate.
The types of fossils found in a particular region depend on the age of the rocks that are currently eroding at the surface. Some areas have become famous for the types of fossils found there, such as China and the badlands (rugged, rocky areas with little vegetation) of the United States and Canada, where an abundance of dinosaur fossils from the Cretaceous Period (138 million to 65 million years before present) have been found. Some fossils are restricted to small areas and some are distributed globally. The most widespread fossils are the remains of organisms that lived in oceans and could move with the currents, such as foraminifera, and those that lived on land and were spread by wind, such as spores. Fossils of graptolites (marine invertebrates that lived in colonies) in rocks of marine origin and of ferns on land are now found on all continents. Certain species of shallow-water trilobites, and dinosaurs that were restricted to land, are found only at particular localities.
Different types of fossils are found in different geological formations, depending on the prehistoric environment represented and the age of the rock. Older rocks are found on low, eroded continents near the edges of large oceans. Younger rocks are found more commonly where there is active mountain building and volcanic activity. Old fossils are most commonly found where an old mountain range has eroded, such as in eastern North America and northern Europe, or where two old continents have collided, such as in Russia. Younger fossils are found at the ocean side of young mountains where an ocean plate is colliding with a continental plate, such as in western North and South America and in New Zealand.
Learning From Fossils
Paleontologists use fossils to reconstruct how prehistoric organisms might have looked. Fossils that are found grouped together can suggest how an organism interacted as part of a community. Sometimes the microscopic structure of an organism is preserved, as well as different growth stages from embryo to adult. Such remains allow paleontologists to determine how closely related fossil organisms are to one another and to living organisms. When studying extinct organisms with no obvious living relatives, such as graptolites, paleontologists look at the microscopic structure and chemical composition of the remains to determine if there is a living relative.
Paleontologists must sometimes compare the fossils of extinct organisms with living organisms to draw conclusions about the nature, behavior, or habits of prehistoric life forms. For example, the inner chambers of the extinct ammonites (squidlike mollusks with a spiral shell) can be compared with the inner chambers of the living nautilus. The sharp, serrated teeth of Tyrannosaurus are similar to those of living carnivores, indicating that this dinosaur was also a meat eater. Similarly, the flattened teeth of Hadrosaurus, which resemble the teeth of living herbivores, suggest that this duck-billed dinosaur was a plant eater.
Some fossils reveal information about how a species grew. Paleontologists have found fossils of the empty shells of trilobites, for example, that reveal that the animals shed their shell-like skeletons as they grew into adult forms, much as shrimps and crabs do today. Vertebrates have internal skeletons that cannot be shed at different growth stages. In order for paleontologists to gather information about the growth stages of vertebrates, therefore, they must study the fossilized bones of animals that died during certain stages. For example, paleontologists have discovered a dinosaur nesting site in Montana that contains skeletal fossils of the duck-billed Maiasaura that represent various stages from embryo to adult.
Prehistoric organisms interacted with one another in much the same way as living organisms do today. Paleontologists have identified predators and their victims using evidence such as the teeth marks of mosasaurs (large, carnivorous marine lizards) on ammonites. Evidence of fighting between rivals can be seen in the fossils of some crocodiles, in which the jaws or ribs have been broken and have healed. Prehistoric animals also suffered from disease and deformities, as evidenced by such fossils as arthritic hip joints of plesiosaurs or split segments of trilobites. Fossil plants show evidence of parasitism and disease, as well as evidence of having been fed on by insects and larger animals.
a. Evolution
The fossil record contains evidence of how life has changed and evolved throughout the earth’s history. The earliest fossils are more than 3.5 billion years old. They are simple, microscopic, single-celled bacteria called blue-green algae. There is little evidence of change in the life forms on earth over the next 3 billion years, except that cyanobacteria (formerly known as blue-green algae) began growing in layered colonies called stromatolites. The first complex life—jellyfish and worms—appears in the fossil record about 680 million years ago. The first vertebrates evolved about 570 million years before present, at the border between Precambrian time and the Paleozoic Era. At this point, the seas also became abundant with a variety of life forms.
About 400 million years before present, some living organisms migrated onto land, and pioneering plants and arthropods became common. Vertebrates soon took advantage of this new habitat, and reptiles appeared about 330 million years before present. Early mammals appeared about 100 million years later, during the Mesozoic Era, when dinosaurs roamed the earth. After the extinction of the dinosaurs 65 million years before present, mammals moved into habitats left vacant by the dinosaurs and developed, with other survivors, into the creatures that exist today. Flowering plants appeared about 120 million years before present, becoming abundant after the extinction of the dinosaurs.
The fossil record also reveals how individual species evolved over time. It is possible to study such changes by comparing older fossils found lower in a sedimentary formation with the younger fossils found higher in the formation. The study of the succession of geological time represented by these sediments and fossils is called stratigraphy.
The fossil record suggests that evolution may have progressed at different rates—sometimes gradually, and at other times in short bursts. This is difficult to prove, however, because sedimentation is rarely continuous over long periods of time. Paleontologists theorize that rapid evolutionary events commonly occur after a major extinction, such as that of the dinosaurs. This may be so because populations of different species move into the newly unoccupied position, or niche, within a community left vacant by the extinct species.
Convergent evolution occurs when an animal with a shape that was well suited to its function becomes extinct, and a new animal that replaces the extinct one evolves a similar shape to perform a similar function. This type of evolution has occurred in dolphins and porpoises that moved into the environmental niche left vacant by the extinction of ichthyosaurs. Although there are substantial differences between the extinct ichthyosaurs and today’s dolphins and porpoises, and although their ancestry is very different, the basic form that dolphins and porpoises adapted for living in the ocean is similar to that of ichthyosaurs.
b. Climate and Landscape
Paleontologists can also gather information about the climates of prehistoric times by studying fossils and sediments. This field of study is called paleoclimatology. In general, animal and plant life is more abundant in warm, humid equatorial climates and less abundant in both hot and cold dry climates. In the sea, corals may provide evidence of changes in climate as well as in water depth because they generally grow best in warm, shallow seas. Studies of isotopes in fossilized calcite skeletons can help determine the water temperature in which animals, such as belemnites (an extinct group of marine organisms resembling small squid), lived.
Because of the movement of the earth’s tectonic plates, most continents have drifted through various climatic zones over geological time. As a result, a particular region may have passed more than once through equatorial regions with rain forests, through tropical latitudes with deserts, and through temperate zones. The fossil record suggests that climatic variation is greater now than it was during the Jurassic Period. In Antarctica, Australia, and New Zealand, which were all close to the South Pole during the Jurassic Period, fossils of plants and animals that are normally associated with warm climates have been found.
Fossil Discovery and Collection
Before paleontologists begin new fieldwork, they first study the geology of the region to determine if it is likely that fossils are present. Sometimes they visit a site that has already been documented. The typical tools of a paleontologist include a hammer, chisels, eye protection, gloves, a hard hat, a notebook and pen, collecting bags, maps, and a compass. Paleontologists take field notes as fossils are collected: For each fossil, they record the precise locality, stratigraphic level, and any associated fossils. Each fossil is given a unique identifier (such as a number) that is attached to it so that data recorded from the site can be related to individual fossils. After returning from a trip, paleontologists examine any unidentified fossils more closely.
Paleontologists usually donate fossils of a new species or of some other importance to museums, where the fossils are preserved and displayed. Although fossils may have survived for many millions of years, it may take only a very short time for them to disintegrate once they are exposed. Scientists have a variety of tools at their disposal to slow or halt this disintegration. The method of preservation they select depends on the kinds of minerals in the fossil. If a fossil has been pyritized, it can be very difficult to prevent so-called pyrite-rot, or oxidation of iron sulfides, which destroys the fossil. In general, stable humidity and temperature and an acid-free environment help protect fossils from decay.
Dating and Classifying Fossils
Paleontologists have established a basic history of life on earth based on the known fossil record. They can determine the relative age of a fossil of a new species by examining the fossils in its surroundings. Some organisms lived for only a short period of geological time, and paleontologists use the fossils of these organisms as indicators to establish the age of fossils found in association with them. If similar fossils have been found over a wide geographic range, the fossils may be used to correlate the dates of formations in different localities. A stratigraphy (a map of rock layers) can be drawn up based on the occurrence of fossils. Many ammonites from the Jurassic and Cretaceous periods are used in this way, as are graptolites in older rocks.
Paleontologists use radiometric dating to determine more precisely the age of fossils (see Dating Methods: Radiometric Dating). In this process, they study the isotopes of minerals in the rock surrounding the fossil. Knowing the rates at which the isotopes decay, and having determined how much of the isotope has decayed in the rock sample, paleontologists can determine the age of the rock—and thus the age of the fossil preserved in the rock.
Fossils are classified using several techniques. The three most popular techniques are evolutionary taxonomy, numerical taxonomy, and cladistics. Evolutionary taxonomy is the method that was most commonly used in the past. It is based on comparing the shape, structure, and relationships of organisms within a stratigraphic framework. Many paleontologists believed this method was too subjective and developed numerical taxonomy as an alternative. Numerical taxonomy uses a mathematical comparison of organisms in which measured features of the organisms are related. In an effort to achieve still greater objectivity, some paleontologists developed a third method, cladistics, based on classifying organisms according to certain features that are either primitive or derived. Primitive features are those that are common to all organisms within a group, whereas derived features are evolutionary novelties. Paleontologists have had problems with subjectivity in cladistics as well, and the method also does not easily take into account the time dimension of the geological record. A combination of the methods used in cladistics and the geological record may provide a clearer picture of the evolution of life on earth.
History of Paleontologi
The collection and study of fossils began in the late 17th century when English naturalist Robert Hooke examined fossils of marine creatures from England. He realized that these animals must have lived in different climatic conditions and were now extinct. The field of paleontology grew as more fossils of different ages were discovered around the globe. English scientist Charles Darwin used the fossil record to form his theory of evolution in the 1830s. Modern paleontologists have used the fossil record to further develop the theory of evolution and to divide earth’s history into periods based on the kinds of life that were present. These periods begin with Precambrian time (about 4 billion to 570 million years before present), when earth was populated by soft-bodied organisms whose remains were not well preserved, and extend through the current time period, the Recent, or Holocene, Epoch (10,000 years before present to the present time).
Contributed By:
Neil Clark
Microsoft ® Encarta ® Encyclopedia 2002. © 1993-2001 Microsoft Corporation. All rights reserved.

B. SEKALA WAKTU GEOLOGI

Berapa umur bumi ?
Kapan bumi terbentuk ?
Bagaimana mengetahuinya ?

Yang pasti tidak ada yang pasti, berapa umur bumi dan kapan bumi terbentuk.
Berdasarkan gejala-gejala geologi pada kulit bumi yang terekam, ilmu pengetahuan memperkirakan bumi telah terbentuk dalam milyaran tahun yang lalu yang disusun dalam Skala Waktu Geologi.
Geovani Arduino (1760) seorang Geolog dari Italia menyusun pembagian Skala Waktu Geologi menjadi empat bagian yaitu umur tertua (Primer), umur menengah (Sekunder),  umur muda (Tersier), dan umur termuda (Kwarter).
Dasar pembagian kurun tersebut adalah dilihat dari ada dan belum adanya kehidupan.

Waktu Geologi dinyatakan dengan beberapa sekala yaitu :
·         Era (Masa) adalah sekala waktu yang didasarkan pada perkembangan kehi-dupan di dunia dan kegiatan pembentukkan pegunungan yang menyeluruh.
·         Periode (Zaman) adalah sekala waktu yang didasarkan pada kegiatan pembentukkan pegunungan secara regional/lokal.
·         Epoch (Kala) adalah sekala waktu yang didasarkan pada kandungan fosil.
·         Age (Waktu) sekala waktu yang didasrkan pada fauna dan flora/zaman es.
Era terdiri dari beberapa periode
Periode terdiri dari beberapa epoch
Epoch terdiri dari beberapa age

Bumi kita ini hingga kini telah mengalami 5 masa yaitu :
1.    Arkheikum (Azoikum) a = tidak dan zoon = kehidupan. Batuan sedimen pada masa ini sama sekali tidak dijumpai adanya fosil.  yaitu zaman tertua
2.    Proterozoikum (Algonkium)  proto = masa lampau. Batuan sedimen masa ini hanya mengandung sisa-sisa bentuk kehidupan yang sangat sederhana  yaitu zaman kebangkitan ?
     Kedua masa tersebut sangat sulit dibedakan, sehingga keduanya kadang-kadang dijadikan satu masa dan disebut Arkheozoikum.
3.    Paleozoikum. Paleo =tua/kuno yaitu zaman tua masa dimana sudah terdapat jenis flora dan fauna tetapi semua jenis kehidupan tersebut telah punah kecuali beberapa bentuk yang jumlahnya tidak banyak.
4.    Mesozoikum. Mesos = tengah  yaitu zaman pertengahan mempunyai flora dan fauna yang erat hubungan kekeluargaannya  dengan flora & fauna sekarang meskipun sejumlah besar dari jenisnya telah punah. Ciri utama dari masa ini yaitu adanya reptil raksasa.
5.    Neozoikum (kenozoikum)  kainos = baru yaitu zaman baru. Pada masa ini dijumpai binatang menyusui dan binatang lunak yang kini masih kita jumpai.
Adanya manusia di dunia diperkirakan pada akhir Kenozoikim.
Setiap masa dibagi dalam zaman yang didasarkan atas kumpulan kehidupan yang terkhususkan. Pemberian nama zaman didasarkan atas beberapa alasan diantaranya :
·         nama wilayah/tempat dimana singkapan untuk zaman tersebut tersingkap lengkap misalnya Devon, Perm, dan Yura.
·         suku bangsa yang tinggal di daerah itu misalnya Kambrium yang berasal dari Kambria.
·         sifat batuan misalnya Karbon dan Kapur

Arkheikum sampai Arkheozoikum berlangsung selama 800 juta tahun. Pada Arkheikum (zaman tertua) di bumi ini belum terdapat mahluk hidup sama sekali. Permulaan adanya mahluk hidup yaitu pada Arkheo-zoikum.

Proterozoikum berlangsung selama 500 juta tahun dan pada zaman ini mulai hidup binatang ber sel satu (Protozoa).

Paleozoikum (zaman tua) berlangsung selama 325 juta tahun. Pada era ini sudah banyak terjadi sedimentasi yang mengandung fosil. Era Paleozoikum terbagi dalam 6 masa yaitu :
  • Masa Kambrium
  • Masa Ordovisium
  • Masa Silur yaitu adanya ikan (binatang bertulang belakang pertama)
  • Masa Devon
  • Masa Karbon yaitu adanya binatang amfibi dan tumbuhan pakis. Dan pada masa ini juga mulai pembentukan batubara
  • Masa Perm yaitu masa trilobit terakhir

Mesozoikum (zaman pertengahan) berlangsung selama 125 juta tahun yang terbagi dalam 3 masa yaitu :
  • Masa Trias
Pada masa ini mulai hidup binatang reptil (brahiuosaurus)
  • Masa Jura
Pada masa ini mulai hidup mamalia rendah (binatang berkantung) dan repti terbang
  • Masa Kapur
Pada masa ini mulai tumbuh foraminifera (tumbuhan berbiji tertutup

Neozoikum disebut juga Kenozoikum atau zaman baru. Zaman ini berlangsung selama 50 juta tahun yang terbagi menjadi 6 masa. Empat masa pertama berlangsung selama 49,4 juta tahun dan dua masa kedua berlangsung selama 600.000 tahun. Masa-masa itu adalah:
·         Masa Eosen
·         Masa Oligosen
·         Masa Meosen
·         Masa Pleosen
Keempat masa ini ditandai dengan mulai adanya kehidupan binatang mamalia tinggi: nenek moyang kuda, kuda nil, dan babi. Dan pada masa ini mulai ada gejala orogenetik dan vulkanisme. Terbentuknya rangkaian pegunungan muda dunia yaitu Sirkum Pasifik dan Sirkum Mediterania disertai dengan pembentukan gunung api – gunung api. Batubara juga terbentuk pada masa ini dan tergolong sebagai batubara muda yang banyak mengandung gas.

·         Masa Pleistosen (Diluvium). Pada masa inilah manusia pertama, mamut, reindeer. Pada masa ini suhu permukaan bumi turun 2oC sehingga terjadi Zaman Es, permukaan laut turun sekirtar 70 meter.
·         Masa Holosen (Aluvium) merupakan masa flora fauna baru hingga sekarang

Jadi umur bumi kita sejak menjadi padat (bukan berupa kabut pijar) sampai sekarang diperkirakan 800 juta + 500 juta + 325 juta + 125 juta + 50 juta tahun = 1.800 juta tahun

 

© Microsoft Corporation. All Rights Reserved.
Geologic Time Scale
Microsoft ® Encarta ® Encyclopedia 2002. © 1993-2001 Microsoft Corporation. All rights reserved.

Kapan bumi kita ini terbentuk ? Berapa usianya hingga saat ini ? Adalah pertanyaan-pertanyaan yang sukar dijawab secara pasti. Karena jawabannya melebihi dari usia kita, usia bapa-ibu kita, bahkan melibihi usia kakek buyut kita. Ribuan tahun bahkan milyaran tahun untuk usia suatu epoch geologi. Untuk itu maka digunakan  pendekatan yang secara garis besarnya terdiri dari dua macam ukuran, yaitu pendekatan umur relatif dan pendekatan umur absolut.
1.   Pendekatan Umur Relatif
Pendekatan umur relatif adalah merupakan penetuan umur lapisan-lapisan batuan dalam bentuk perbandingan lapisan mana yang lebih dulu terbentuk dan lapisan mana yang terbentuk kemudian. Atau dengan kata lain lapisan mana yang lebih muda antara kedua lapisan batuan yang kita lihat. Ada beberapa pendekatan untuk menetukan uimur relatif, antara lain :

a.    Superposisi
Metode Superposisi menyatakan bahwa lapisan sedimen yang paling atas menunjukkan umurnya lebih muda dari pada lapisan di bawahnya. Dan sebaliknya lapisan  bawah menunjukkan umurnya lebih tua dari pada lapisan di atasnya. Hal ini dapat kita pahami karena proses sedimentasi berjalan seperti itu.
Metode ini digunakan hanya berlaku pada batuan sedimen yang belum mengalami perubahan posisi.

b.    Intrusi
Intrusi adalah penyusupan magma ke dalam kerak bumi sampai mengalami pembekuan. Hal ini dapat diasumsikan bahwa batuan intrusi umurnya lebih muda dari batuan disekitarnya (yang disusupinya).

c.    Deformasi
Deformasi adalah lapisan sedimen yang mengalami perubahan formasi karena adanya proses geologis seperti pelipatan dan patahan. Hal ini dapat diasumsikan bahwa bentuk lipatan atau patahan terjadi setelah adanya lapisan sedimen. Atinya bahwa lapisan sedimen umurnya lebih tua dari peristiwa lipatan atau patahan.

d.    Metamorfosa
Metamorfosa disini dimaksudkan pada proses perubahan bentuk dan struktur (disebut juga malihan). Misalnya Batuan Kapur berubah menjadi Marmer.
Hal ini dapat diasumsikan bahwa umur Marmer lebih muda dari Batuan Kapur yang ada disekitarnya.

e.    Perubahan Binatang
Setiap lapisan sedimen biasanya mengandung fosil dengan karakteristik masing-masing menurut tempat dan waktu organisme itu hidup. Karakteristik fosil dalam setiap lapisan sedimen disebut Facies Palaentologi. Dengan memadukan prinsip Superposisi maka umur lapisan batuan dan umur fosil pada suatu daerah yang sama atau berdekatan dapat dibedakan. Tetapi untuk daerah yang berjauhan dan telah mengalami perubahan posisi oleh tenaga eksogen atau oleh tenaga endogen, penetuan umur relatif ditentukan berdasarkan analisis korelasi.
Menurut kajian Biologi bahwa species tertentu hidup hanya dalam satu interval waktu tertentu dalam perkembangan sejarah geologi, selanjutnya digantikan oleh species lain.

f.     Horizonisasi Tanah
Apa bila kita menggali penampang tanah, maka akan didapati lapisan-lapisan tanah yang mempunyai karakteristik yang berbeda. Secara mudah yang dapat dilihat perbedaan warna dari masing-masing lapisan. Lapisan-lapisan ini disebut dengan Horizon Tanah. Pembentukan horizon ini memerlukan waktu yang sangat lama dan berdasarkan pendekatan superposisi, maka umur horizon atas lebih muda dari horizon di bawahnya.

2.    Pendekatan Umur Mutlak
Umur mutlak  dalam perhitungan waktu geologi tidak semutlak perhitungan umur manusia yang dapat tercatat secara pasti kapan dia lahir. Penentuan umur bumi dengan metode yang ada, standar kesalahannya ada yang sampai 200 juta tahun. Sejak tahun 1950-an pengukuran umur mutlak mulai berkembang. Beberapa metode pengukuran umur mutlak antara lain :

a.    Kadar Garam Air Laut
Kadar garam air laut berasal dari daratan yang dibawa oleh air sungai, sehingga dapat dihitung berapa jumlah garam yang di bawa oleh sungai tersebut setiap tahunnya.
Pada tahun 1898, Joly menghitung umur laut dengan metode ini.


15 x 1015  kg (banyaknya garam dalam laut)
---------------------------------------------------------------------  = 99 juta tahun
15,1 x 107 kg (rata-rata tambahan garam pertahun)


Kelemahan metode ini :
1.    Tidak memperhitungkan sumber garam yang lainnya, misalnya reaksi kimia di dalam laut, letusan gunung api di dasar laut, dan sebagainya.
2.    Tidak memperhitungkan perubahan jumlah populasi manusia yang sema-kin bertambah dengan berbagai macam aktifitasnya yang memungkinkan penambahan masukkan kadar gara ke laut melalui aliran sungai.

b.    Tingkat Sedimentasi
Metode ini digunakan pada batuan sedimen tidak mengalami perubahan posisi. Umur lapisan batuan dapat dihitung dengan membandingkan antara tebalnya lapisan suatu endapan dengan besarnya penambahan endapan setiap tahunnya.
Misalnya tebal lapisan endapan di pantai adalah 10.000 mater, dan hasil pengukuran menunjukkan bahwa penambahan endapan sebanyak 0,5 mm pertahun. Maka umur lapisan endapan tersebut adalah :

10.000.000 mm
                              = 20 juta tahun
0,5 mm/tahun

Atau umur lapisan terbawah dari sedimen tersebut adalah 20 juta tahun.

c.    Tingkat Erosi
Dengan terukurnya tingkat/besarnya  erosi tiap tahun, maka berapa lama suatu wilayah yang tererosi pun dapat diperhitungkan. Dengan cara ini prosea erosi mundur di Air Terjun Niagara telah diperhitungkan, dan hasilnya menunjukkan bahwa proses erosi tersebut telah berlang-sung selama 24.000 tahun.

d.    Lingkaran Pertumbuhan Batang
Lingkaran Pertumbuhan Batang disebut juga dengan Lingkar Tahun. Pohon-pohon tertentu menunjukkan adanya lingkaran-lingkaran pertum-buhan tiap tahunnya. Apa bila pohon ini menjadi fosil yang terkubur pada suatu lapisan sedimen, maka dengan menghitung banyaknya ling-karan pertumbuhan berarti telah diketahui umur pohon itu. Dan dengan dimodifikasi terhadap prinsip superposisi dan tingkat sedimentasi, maka akan lebih jauh dapat menghitung umur suatu sedimen.
 
e.    Radioaktif :
Metode Radioaktif (Disarikan dari Arthur Beiser. 1982. Bumi. Jakarta : Tira Pustaka).
Dengan Metode Radioaktif  dapat diperhitungkan umur batuan dalam jutaan bahkan milyaran tahun yang lalu. Yang diperhitungkan melalui unsur Radioaktif adalah laju pelapukkannya yang sangat tepat. Unsur tersebut berubah menjadi unsur yang lebih stabil secara perlahan namun konsisten atom demi atom. Proses pelapukan inti atom radioaktif  disebut dengan Transmutasi Inti atau Desintegrasi Inti.

Beberapa istilah yang perlu diketahui :
·         Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan oleh radiokatif untuk berubah menjadi isotop lain.
·         Isotop adalah atom dari unsur yang sama tetapi memiliki jumlah neutron yang berbeda pada intinya.
·         Neutron adalah bagian dari inti atom yang tidak bermuatan tetapi mempunyai berat (bobot).
·         Sinar alpha adalah partikel-partikel elektron yang bermuatan negatif dengan kecepatan sedikit di bawah kecepatan cahaya sehingga mampu menembus seribu lembar kertas. Kecepatan cahaya = 300.000 km/detik.
·         Sinar gama adalah radiasi energi berupa gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang sangat pendek. Kecepannya sama dengan kecepatan cahaya, mampu menembus lembaran timah hitam setebal 1 cm. Sinar ini bersifat netral atau tidak bermuatan.

Sebagian besar metode radioaktif didasarkan pada prinsip transmutasi inti, namun ada juga yang perhitungannya didasarkan pada banyaknya bercak-bercak yang diakibatkan oleh penyinaran oleh unsur radioaktif.

Berikut ini akan diuraikan secara garis besar beberapa metoda radio-aktif dalam pengukuran unsur mutlak.

·         Uranium
Unsur Radioaktif yang sangat berguna bagi ahli Geologi adalah Uranium, yang ditemukan dalam banyak batuan dan tersebar pada daerah yang luas di permukaan bumi. Seluruh Uranium di bumi kelak akan menjadi Timbal dengan melepaskan helium dalam prosesnya yang sangat lambat. Sesudah 2,25 milyar tahun, tiga perempat gumpalan isotop uranium semula masih akan berwujud uranium, dan hanya seperempatnya yang berubah menjadi Timbal.

·         Metode Potasium
Metode ini sering pula disebut metode peluruhan argon (K40–Ar 40).
Metode ini diketemukan tahun 1948, dan banyak digunakan karena unsur radio aktif ini banyak terdapat di dalam batuan beku dan batuan metamorf seperti: Biotit, Maskofit, Sanidin, Hornblende, Glaukonit, Piroksin, dan batuan vulkanik.
K40 akan berubah menjadi Ar40 dengan jalan menangkap elektron (sinar beta), dengan waktu paruh 1,3 x 109 tahun. Dengan membandingkan jumlah kalium 40 yang masih sisa dalam batuan dan Argon 40 yang terbentuk, maka umur batuan dapat dihitung. Dalam hal ini diasumsikan bahwa:
1. Pada saat proses ini mulai, tidak ada Argon di dalam batuan, hanya terbentuk dari transmutasi Kalium 40.
2.  Bahwa selama proses berlangsung  tidak ada tambahan atau pun pengurangan K 40 maupun AR 40 di dalam batuan. Adapun kelemahan dari metode ini , bahwa Argon berwujud gas yang dapat hilang dari batuan pada temperatur 50–2000 C. Dengan demikian gaya-gaya tektonik, tekanan lapisan dari atas, atau kontak dengan magma yang dapat menaikkan temperatur akan berpengaruh terhadap jumlah Argon di dalam batuan. Penggunaannya secara efektif berkisar antara 104–4,6x106 tahun, dengan standar kesalahan sekitar 1–2%.
Konsepsi reaksi adalah sebagai berikut :  


40K + β à 40AR (12% dari K)
40K + à 40Ca (88% dari K)




·         Metode Carbon-14
Karbon radoaktif yang terbentuk dalam atmosfir oleh sinar kosmik, misalnya, kehilangan tepat setengah persediaan radioaktivitasnya selama 5.730 tahun, karena unsurnya berobah menjadi nitrogen. Seorang ahli dengan perangkat pengukur yang peka dapat membandingkan jumlah kandungan karbon radioaktif dengan jumlah karbon biasa yang tertinggal dalam sebuah fosil, dengan cara itu maka dapat dihitung berapa umur fosil tersebut.
Dalam jangka waktu 5.730 tahun proporsi karbon radioaktif akan berkurang separuhnya, dan selama 5.730 tahun berikutnya jumlah tersebut akan berkurang separuhnya lagi, begitu seterusnya sampai sama sekali tidak tersisa.
Ahli Geologi harus menggunakan bahan radoaktif yang umur paruhnya lebih lama, jutaan bahkan milyaran tahun. Sebuah Isotop Kalsium melapuk menjadi Argon dengan umur paruh 1,3 milyar tahun; Isotop Torium melapuk menjadi Timbal; Isotop Rubidium melapuk menjadi Stronsium masing-masing dengan umur paruh 14 milyar tahun dan 60 milyar tahun.

Unsur Radioaktif yang sangat berguna bagi ahli Geologi adalah Uranium, yang ditemukan dalam banyak batuan dan tersebar pada daerah yang luas di permukaan bumi. Seluruh Uranium di bumi kelak akan menjadi Timbal dengan melepaskan helium dalam prosesnya yang sangat lambat. Sesudah 2,25 milyar tahun, tiga perempat gumpalan isotop uranium semula masih akan berwujud uranium, dan hanya seperempatnya yang berubah menjadi Timbal.

Dengan menggunakan metode radioaktif , sampel batuan “genesis rock” dari bulan yang dibawa oleh Astronout Apollo 15 (David R. Scott dan James B. Irwin), diperkirakan berumur 4,15 milyar tahun dengan tingkat kesalahan 200.000 tahun. Berarti ini mendekati hasil perhitungan umur bumi, yang juga mengandung arti penting dalam teori terbentuknya sistem tata surya.

Berdasarkan analisis berbagai sampel batuan yang diperoleh dari berbagai tempat di bumi, akhirnya para pakar menyusun suatu daftar saat terbentuknya beberapa kejadian alamiah penting seperti berikut:
·         Bumi mulai memadat/terbentuk sekitar 4,5 milyar tahun yang lalu.
·         Massa batuan yang tersebar di bumi terbentuk sekitar 3,5 milyar yahun yang lalu
·         Adanya fosil sekitar 3,3 milyar tahun yang lalu
·         Berlimpahnya fossil record bersamaan dengan periode Cambrium yaitu sekitar 600 juta tahun yang lalu.

No comments:

Post a Comment